FIRMAN ALLAH SWT:
"Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan"(Al Hadid:20)
"Dan tidak (dinamakan) kehidupan dunia melainkan permainan yang sia-sia dan hiburan yang melalaikan: dan demi sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa."(Al Ana'am:32)
""Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan) di dunia". (orang-orang ini diberikan kebaikan di dunia) dan tidak ada baginya sedikitpun kebaikan di akhirat."(Al Baqarah:200)
"Dan (ingatlah bahawa) kehidupan di dunia ini (meliputi segala kemewahannya dan pangkat kebesarannya) tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang-orang yang terpedaya."(A-li'Imraan 3:185)
"Dihiaskan (dan dijadikan indah) kepada manusia: kesukaan kepada benda-benda yang diingini nafsu, iaitu perempuan-perempuan dan anak-pinak; harta benda yang banyak bertimbun-timbun, dari emas dan perak; kuda peliharaan yang bertanda lagi terlatih; dan binatang-binatang ternak serta kebun-kebun tanaman. Semuanya itu ialah kesenangan hidup di dunia. Dan (ingatlah), pada sisi Allah ada tempat kembali yang sebaik-baiknya (iaitu Syurga)."(Ali Imran:ayat 14)
"Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini adalah sedikit sahaja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal selama-lamanya), dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun".(An-Nisaa' 4:77)
"Sesungguhnya orang-orang yang mengutamakan keuntungan dunia yang sedikit dengan menolak janji Allah dan mencabuli sumpah mereka, mereka tidak akan mendapat bahagian yang baik pada hari akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan membersihkan mereka (dari dosa), dan mereka pula akan beroleh azab seksa yang tidak terperi sakitnya."(A-li'Imraan 3:77)
"Mereka itulah orang-orang yang membeli (mengutamakan) kehidupan dunia (dan kesenangannya) dengan (meninggalkan perintah-perintah Allah yang membawa kebahagiaan dalam kehidupan) akhirat; maka tidak akan diringankan azab seksa mereka (pada hari kiamat), dan mereka pula tidak akan diberikan pertolongan."(Al-Baqarah 2:86)
***Jika inilah fakta sebenar tentang dunia, "..... tidakkah kamu mahu berfikir?"(Al-An'aam 6:32)***
Dunia yang main-main ini, PASTI akan kita tinggalkan...
Selepas itu..
Kehidupan yang bukan main-main, barulah bermula...
Selasa, Mac 20, 2012
Isnin, Mac 19, 2012
PENTINGNYA PENDIDIKAN ANAK-ANAK MENURUT ISLAM
Khutbah Pertama
Allah telah memberikan amanah yang sangat besar di dalam kehidupan kita. Dimana amanah tersebut seharusnya kita tunaikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nya. Amanat tersebut berupa anak yang telah diberikan kepada kita, kita telah diperintahkan untuk melepaskan diri, keluarga, dan termasuk anak kita dari api neraka jahannam.
“Wahai orang orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, padanya ada malaikat yang kasar, mereka tidaklah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.”
Allah telah menjadikan kita sebagai pemimpin bagi keluarga kita, yang tentunya kita juga akan dimintai pertanggung jawaban. Maka seharusnya suami dan istri saling bekerjasama dalam membina keluarga, karena masing-masing akan dimintai pertanggung-jawaban.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung-jawaban, maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang budak adalah pemimpin pada harta majikannya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, maka ketahuilah bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban.”
“Allah telah mewasiatkan di dalam perkara anak-anak kalian”
Maka orang tua hendaknya bertanggung jawab terhadap keluarga dan keturunannnya, jangan sampai dia dan keturunannnya mendapatkan kemurkaan dari Allah. Maka hendaknya pemimpin keluarga memberikan pelajaran agama yang baik kepada anak keturunannya agar mereka dapat menjadi anak yang shalih. Rasulullah bersabda dalam hadits Ibnu Abbas dalam riwayat Tarmidzi
“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku mengajari engkau beberapa kalimat, jagalah Allah maka Allah akan menjagamu, jagalah Allah maka engkau akan mendapatkan Allah di hadapanmu, apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah, apabila engkau memohon pertolongan maka mintalah kepada Allah”
Dalam hadits ini menunjukkan perhatian beliau yang besar dalam mendidik anak kaum muslimin. Terlebih bagi mereka yang telah menjadi kepala keluarga, wajib bagi mereka mengajarkan agama Allah baik berupa tauhid, akhlaq, adab, dsb karena semuanya adalah tanggung jawab dari orang tua. Saat rasulullah melihat seorang anak kecil yang makan dengan adab yang jelek, maka beliau bersabda
“Wahai anak kecil, apabila engkau makan maka bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, makanlah mulai dari yang dekat denganmu.”
Demikianlah Rasulullah memberikan pelajaran kepada anak-anak kaum muslimin dengan pelajaran yang diperintahkan oleh Allah. Sebelum datang suatu hari yang menghancurkan dunia ini, hari dimana seseorang akan lari dari saudaranya sendiri, dari bapak dan ibunya, dan dari istri dan anak-anaknya. Pada hari inilah kita mempertanggung jawabkan kehidupan kita di dunia, kita tidak bisa lagi mendidik anak-anak kita karena kesempatan tersebut hanya di dunia saja. Pendidikan anak-anak perlu kita perhatikan karena merekalah kebahagiaan atau kesedihan bagi kita.
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah”
Karena itu disamping kita mendidik dan mengarahkan anak-anak kita kepada Islam, tentunya kita tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah. Karena yang dapat memberikan hidayah hanyalah Allah. Allah yang akan menentukan mereka mendapat petunjuk atau menjadi tersesat.
Ketika Nabi Isa baru lahir dan ditanya oleh Bani Israil, maka Nabi Isa menjawab, “sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Allah yang telah memberikan kepadaku Al Kitab dan menjadikan aku sebagai Nabi. Dan menjadikan aku diberkahi dimanapun aku berada, dan Allah yang mewasiatkan kepadaku untuk menegakkan shalat dan zakat selama aku masih hidup.”
Kemudian dari pernyataan Nabi Isa tersebut dapat kita ketahui bahwa Allah-lah yang telah menjadikan beliau sebagai orang yang shalih, sebagai seorang Nabi, dan sebagai orang yang menerima kitab suci. Kemudian perkataan Nabi Isa yang lainnya:
“Dan Allah yang telah menjadikan aku sebagai anak yang berbakti kepada orang tuaku dan tidak menjadikan aku sebagai orang yang keras dan kasar.”
Maka apabila kita mengetahui hal ini seharusnya kita berusaha sebaik-baiknya, memohon pertolongan kepada Allah, agar anak keturunan kita dapat menjadi generasi yang shalih. Pertolongan dari Allah kita perlukan karena hidayah itu hanya datang dari Allah, bahkan Nabi Nuh tidak dapat memberikan hidayah kepada anaknya.
Berkata Nabi Nuh terhadap anaknya, “Wahai Anakku, marilah berlayar bersamaku, dan janganlah kamu bersama orang yang kafir”, jawab anaknya, “Aku akan berlindung ke puncak gunung yang dapat menjauhkan aku dari air”. Nabi Nuh berkata, “Pada hari ini tidak ada yang dapat terjaga dari perintah Allah kecuali yang disayangi oleh Allah. Wahai Rabbku sesungguhnya anakku adalah termasuk dari keluargaku, dan sesungguhnya janjimu adalah benar dan engkau adalah Dzat yang maha bijaksana”, jawab Allah, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk dari keluargamu, karena dia beramal yang tidak baik. Maka jangan engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu di dalamnya, sesungguhnya Aku mengingatkanmu agar engkau tidak termasuk orang-orang yang bodoh”, jawab Nabi Nuh, “Wahai Rabbku, kalau seandainya engkau tidak mengampuni dan dan menyanyangi aku maka benar benar aku akan menjadi orang orang yang merugi.”
Akan tetapi seorang anak yang shalih dapat menjadi sebuah permata yang sangat indah. Seperti Nabi Ismail terhadap Nabi Ibrahim, ketika Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu? Wahai Bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan niscaya engkau akan mendapatiku termasuk orang orang yang bersabar.”
Lihatlah bagaimana jawaban dari anak yang shalih kepada bapak yang shalih, padahal mereka berdua diperintahkan untuk mengerjakan suatu hal yang sangat berat. Demikianlah kisah dari keluarga yang shalih, apabila seorang anak telah dijadikan sebagai seorang yang shalih oleh Allah, maka hal tersebut mungkin akan menjadi sebab baiknya kedua orang tuanya, tetapi apabila anak tersebut jelek, mungkin hal tersebut akan menjadi sebab kekafiran kedua orang tuanya.
Sebagaimana Allah telah mengingatkan kita dalam kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa. Ketika Allah memerintahkan Nabi Khidr untuk membunuh seorang anak kecil, kemudian nabi Musa berkata, “Kenapa engkau membunuh seorang jiwa padahal dia tidak membunuh jiwa yang lain ?, sungguh Engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar”, jawab Nabi Khidr, “Bukankah sudah aku katakan bahwa Engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku ?”.
Kemudian di akhir kisah Nabi Khidr menjelaskan alasannya. Beliau melakukan hal tersebut karena anak kecil yang beliau bunuh sesungguhnya memiliki dua orang tua yang shalih. Dan beliau takut anak tersebut akan memaksa kedua orang tuanya menuju kekafiran, maka beliau ingin agar Allah memberikan ganti anak yang lebih shalih dan lebih penyayang kepada kedua orang tuanya.
Pada ayat ini disebutkan bahwa seorang anak dapat menjadi sebab kekafiran kedua orang tuanya. Maka anak adalah jaminan terhadap kelurusan agama kita, oleh karena itu barang siapa yang ingin istiqomah di dalam agama ini, maka hendaknya dia mendidik anaknya dengan keshalihan, karena hal tersebut diharapkan menjadi penyebab Allah memberikan kebaikan kepada kedua orang tuanya.
Khutbah ke dua.
Dan termasuk kebiasaan orang yang shalih adalah berdoa agar keturunannya diperbaiki agamanya.
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami dari istri dan anak sebagai pelembut dan penenang jiwa kami. Dan jadikanlah kami semua (suami, istri dan anak) sebagai pemuka orang yang bertakwa.”
Rasulullah mendoakan Hasan dan Usamah bin Zaid dalam hadits riwayat imam Bukhari, “Ya Allah, sesunggguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah kedua anak ini.”
Demikian pula doa beliau terhadap Abdullah bin Jafar, “Ya Allah, jadikanlah pada keluarga Jafar kebaikan, dan berkahilah Abdullah pada tangan kanannya.”
“Ya Allah, berilah kepada Anas bin Malik harta dan anak yang banyak, dan berkahilah kepada yang engkau berikan kepada mereka.”
Dan doa beliau terhadap Abdullah bin Abbas, “Ya allah pahamkanlah dia dengan agama, dan pahamkanlah dia dengan tafsir.”
Dan termasuk hal yang harus kita perhatikan dalam pendidikan anak kita adalah jangan sampai kita mengeluarkan suatu ucapan yang jelek, bagaimanapun keadaan kita. Ketika Rasulullah mendengar seseorang melaknat untanya, maka Rasulullah bertanya kepada sahabatnya, “Siapa yang tadi melaknat ?, saya, turunlah engkau dari untamu, jangan engkau menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan bagi diri diri kalian, anak-anak, dan harta kalian, jangan sampai ketika kalian berdoa kejelekan tersebut bertepatan dengan waktu yang Allah mengabulkan doa tersebut.”
Allah telah memberikan amanah yang sangat besar di dalam kehidupan kita. Dimana amanah tersebut seharusnya kita tunaikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nya. Amanat tersebut berupa anak yang telah diberikan kepada kita, kita telah diperintahkan untuk melepaskan diri, keluarga, dan termasuk anak kita dari api neraka jahannam.
“Wahai orang orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, padanya ada malaikat yang kasar, mereka tidaklah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.”
Allah telah menjadikan kita sebagai pemimpin bagi keluarga kita, yang tentunya kita juga akan dimintai pertanggung jawaban. Maka seharusnya suami dan istri saling bekerjasama dalam membina keluarga, karena masing-masing akan dimintai pertanggung-jawaban.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung-jawaban, maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang budak adalah pemimpin pada harta majikannya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, maka ketahuilah bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban.”
“Allah telah mewasiatkan di dalam perkara anak-anak kalian”
Maka orang tua hendaknya bertanggung jawab terhadap keluarga dan keturunannnya, jangan sampai dia dan keturunannnya mendapatkan kemurkaan dari Allah. Maka hendaknya pemimpin keluarga memberikan pelajaran agama yang baik kepada anak keturunannya agar mereka dapat menjadi anak yang shalih. Rasulullah bersabda dalam hadits Ibnu Abbas dalam riwayat Tarmidzi
“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku mengajari engkau beberapa kalimat, jagalah Allah maka Allah akan menjagamu, jagalah Allah maka engkau akan mendapatkan Allah di hadapanmu, apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah, apabila engkau memohon pertolongan maka mintalah kepada Allah”
Dalam hadits ini menunjukkan perhatian beliau yang besar dalam mendidik anak kaum muslimin. Terlebih bagi mereka yang telah menjadi kepala keluarga, wajib bagi mereka mengajarkan agama Allah baik berupa tauhid, akhlaq, adab, dsb karena semuanya adalah tanggung jawab dari orang tua. Saat rasulullah melihat seorang anak kecil yang makan dengan adab yang jelek, maka beliau bersabda
“Wahai anak kecil, apabila engkau makan maka bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, makanlah mulai dari yang dekat denganmu.”
Demikianlah Rasulullah memberikan pelajaran kepada anak-anak kaum muslimin dengan pelajaran yang diperintahkan oleh Allah. Sebelum datang suatu hari yang menghancurkan dunia ini, hari dimana seseorang akan lari dari saudaranya sendiri, dari bapak dan ibunya, dan dari istri dan anak-anaknya. Pada hari inilah kita mempertanggung jawabkan kehidupan kita di dunia, kita tidak bisa lagi mendidik anak-anak kita karena kesempatan tersebut hanya di dunia saja. Pendidikan anak-anak perlu kita perhatikan karena merekalah kebahagiaan atau kesedihan bagi kita.
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah”
Karena itu disamping kita mendidik dan mengarahkan anak-anak kita kepada Islam, tentunya kita tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah. Karena yang dapat memberikan hidayah hanyalah Allah. Allah yang akan menentukan mereka mendapat petunjuk atau menjadi tersesat.
Ketika Nabi Isa baru lahir dan ditanya oleh Bani Israil, maka Nabi Isa menjawab, “sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Allah yang telah memberikan kepadaku Al Kitab dan menjadikan aku sebagai Nabi. Dan menjadikan aku diberkahi dimanapun aku berada, dan Allah yang mewasiatkan kepadaku untuk menegakkan shalat dan zakat selama aku masih hidup.”
Kemudian dari pernyataan Nabi Isa tersebut dapat kita ketahui bahwa Allah-lah yang telah menjadikan beliau sebagai orang yang shalih, sebagai seorang Nabi, dan sebagai orang yang menerima kitab suci. Kemudian perkataan Nabi Isa yang lainnya:
“Dan Allah yang telah menjadikan aku sebagai anak yang berbakti kepada orang tuaku dan tidak menjadikan aku sebagai orang yang keras dan kasar.”
Maka apabila kita mengetahui hal ini seharusnya kita berusaha sebaik-baiknya, memohon pertolongan kepada Allah, agar anak keturunan kita dapat menjadi generasi yang shalih. Pertolongan dari Allah kita perlukan karena hidayah itu hanya datang dari Allah, bahkan Nabi Nuh tidak dapat memberikan hidayah kepada anaknya.
Berkata Nabi Nuh terhadap anaknya, “Wahai Anakku, marilah berlayar bersamaku, dan janganlah kamu bersama orang yang kafir”, jawab anaknya, “Aku akan berlindung ke puncak gunung yang dapat menjauhkan aku dari air”. Nabi Nuh berkata, “Pada hari ini tidak ada yang dapat terjaga dari perintah Allah kecuali yang disayangi oleh Allah. Wahai Rabbku sesungguhnya anakku adalah termasuk dari keluargaku, dan sesungguhnya janjimu adalah benar dan engkau adalah Dzat yang maha bijaksana”, jawab Allah, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk dari keluargamu, karena dia beramal yang tidak baik. Maka jangan engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu di dalamnya, sesungguhnya Aku mengingatkanmu agar engkau tidak termasuk orang-orang yang bodoh”, jawab Nabi Nuh, “Wahai Rabbku, kalau seandainya engkau tidak mengampuni dan dan menyanyangi aku maka benar benar aku akan menjadi orang orang yang merugi.”
Akan tetapi seorang anak yang shalih dapat menjadi sebuah permata yang sangat indah. Seperti Nabi Ismail terhadap Nabi Ibrahim, ketika Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu? Wahai Bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan niscaya engkau akan mendapatiku termasuk orang orang yang bersabar.”
Lihatlah bagaimana jawaban dari anak yang shalih kepada bapak yang shalih, padahal mereka berdua diperintahkan untuk mengerjakan suatu hal yang sangat berat. Demikianlah kisah dari keluarga yang shalih, apabila seorang anak telah dijadikan sebagai seorang yang shalih oleh Allah, maka hal tersebut mungkin akan menjadi sebab baiknya kedua orang tuanya, tetapi apabila anak tersebut jelek, mungkin hal tersebut akan menjadi sebab kekafiran kedua orang tuanya.
Sebagaimana Allah telah mengingatkan kita dalam kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa. Ketika Allah memerintahkan Nabi Khidr untuk membunuh seorang anak kecil, kemudian nabi Musa berkata, “Kenapa engkau membunuh seorang jiwa padahal dia tidak membunuh jiwa yang lain ?, sungguh Engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar”, jawab Nabi Khidr, “Bukankah sudah aku katakan bahwa Engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku ?”.
Kemudian di akhir kisah Nabi Khidr menjelaskan alasannya. Beliau melakukan hal tersebut karena anak kecil yang beliau bunuh sesungguhnya memiliki dua orang tua yang shalih. Dan beliau takut anak tersebut akan memaksa kedua orang tuanya menuju kekafiran, maka beliau ingin agar Allah memberikan ganti anak yang lebih shalih dan lebih penyayang kepada kedua orang tuanya.
Pada ayat ini disebutkan bahwa seorang anak dapat menjadi sebab kekafiran kedua orang tuanya. Maka anak adalah jaminan terhadap kelurusan agama kita, oleh karena itu barang siapa yang ingin istiqomah di dalam agama ini, maka hendaknya dia mendidik anaknya dengan keshalihan, karena hal tersebut diharapkan menjadi penyebab Allah memberikan kebaikan kepada kedua orang tuanya.
Khutbah ke dua.
Dan termasuk kebiasaan orang yang shalih adalah berdoa agar keturunannya diperbaiki agamanya.
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami dari istri dan anak sebagai pelembut dan penenang jiwa kami. Dan jadikanlah kami semua (suami, istri dan anak) sebagai pemuka orang yang bertakwa.”
Rasulullah mendoakan Hasan dan Usamah bin Zaid dalam hadits riwayat imam Bukhari, “Ya Allah, sesunggguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah kedua anak ini.”
Demikian pula doa beliau terhadap Abdullah bin Jafar, “Ya Allah, jadikanlah pada keluarga Jafar kebaikan, dan berkahilah Abdullah pada tangan kanannya.”
“Ya Allah, berilah kepada Anas bin Malik harta dan anak yang banyak, dan berkahilah kepada yang engkau berikan kepada mereka.”
Dan doa beliau terhadap Abdullah bin Abbas, “Ya allah pahamkanlah dia dengan agama, dan pahamkanlah dia dengan tafsir.”
Dan termasuk hal yang harus kita perhatikan dalam pendidikan anak kita adalah jangan sampai kita mengeluarkan suatu ucapan yang jelek, bagaimanapun keadaan kita. Ketika Rasulullah mendengar seseorang melaknat untanya, maka Rasulullah bertanya kepada sahabatnya, “Siapa yang tadi melaknat ?, saya, turunlah engkau dari untamu, jangan engkau menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan bagi diri diri kalian, anak-anak, dan harta kalian, jangan sampai ketika kalian berdoa kejelekan tersebut bertepatan dengan waktu yang Allah mengabulkan doa tersebut.”
Isnin, Mac 12, 2012
SIMPANG TAQWA
"Apa itu taqwa?" tanya Umar al-Khattab kepada Ubai bin Ka'ab Radhiyallahu 'anhuma.
"Pernah kamu susuri jalan yang penuh duri?" balas Ubai dengan suatu pertanyaan yang menduga.
"Pernah saja," jawab Umar.
"Apa yang kamu lakukan?" pintas Ubai.
"Aku angkat sedikit pakaianku, dan melangkah dengan hati-hati," jawab Umar lagi.
"Itulah taqwa!" simpul Ubai bin Ka'ab terhadap soalan Umar al-Khattab tentang taqwa.
Halus perbincangan taqwa ianya seolah-olah satu jisim yang menyerupai bakteria ikhlas. Diibaratkan sebagai seekor semut hitam di lorong yang gelap, tiada siapa yang menyedari kehadirannya melainkan Allah s.w.t, kerana itu ikhlas dijadikan rahsia simpanan kepada asas pertimbangan neraca mizan kelak.
Ikhlas bukan sahaja boleh rosak atau batal di awal perbuatan iaitu pada niatnya namun kata- kata, tindak-balas pada reaksi atau komen orang lain juga sedikit sebanyak menggugat ikhlas kepada amalan tersebut.
Ikhlas bererti suci dan murni tanpa noda melainkan disandarkan hanya pada Yang Esa. Namun, perkongsian kali ini bukanlah berkisar mengenai ikhlas sebaliknya pemahaman tentang konsep taqwa dalam iman.
Seorang muslim itu beriman jika dia bertaqwa dan bukan hanya kerana memegang pangkat yang tinggi atau memiliki bakat yang hebat atau kerana keturunannya yang disanjung.
Sebaliknya Allahs.w.t telah firman ;
"Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih takwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu)" (Surah Al-Hujurat ayat 13)
Definisi taqwa bermula dari kalimah waqa- yaqi- wiqoyah yang membawa maksud memelihara, melindungi, takut dan berjaga- jaga. Sesuai dengan pemahaman mendalam terhadap definisi tersebut bahawa taqwa berperanan sebagai penjaga diri dan pelindung tetapi bukan penakut kepada diri seorang muslim.
Sebaliknya di dorong rasa 'takut' kepada Allah s.w.t dengan sentiasa berusaha untuk mentaati segala suruhan dan menjauhi larangan-Nya malah yang paling utama berkorban untuk menjunjung syariat yang diturunkan dan bukan bersifat mempersendakannya atau mengabaikannya atau meringankan sesuatu hukum biarpun sudah mengetahui mengenainya secara teliti dan jelas.
Di situlah taqwa berfungsi iaitu dalam merasakan kemanisan iman dan tidak berasa susah untuk menurutinya walaupun jika menurut pandangan akal manusia ia adalah perbuatan yang sukar seperti bertudung, solat dan puasa serta lainnya.
Seruan taqwa setiap minggu dilaungkan oleh Khatib dalam Khutbah Jumaat malah ia adalah rukun khutbah. Saya yakin setiap muslim menyedari kedudukan 'rukun' dalam pelaksanaan ibadah. Oleh yang demikian, secara tidak langsung membuktikan bahawa peringatan taqwa adalah amat penting untuk sekalian muslim supaya diterapkan dalam kehidupan dan bukan hanya disimpan dalam telinga setiap minggu namun kefahaman mengenainya terus dipekakkan.
Allah telah berfirman dalam surah ali-Imran ayat 102 yang bermaksud ;
" Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam. "
Bagaimana?
Jawapan mudah yang boleh diringkaskan iaitu berilmu, beramal soleh dan beriman. Renung- renungkan perkara ini di mana tahapnya pada diri kita. Melalui perkara ini seorang muslim mungkin dapat melihat penilaian koreksi taqwanya samada pada tahap ;
• Taqwa awwam - masih terpengaruh dgn nafsu amarah walaupun mujahadah masih ada.
• Taqwa khawas - terdedah kepada nafsu lawwamah, menerima virus maksiat batin dan menyemai mazmumah walaupun ia mengetahui ketuanan sifat- sifat tersebut menyumbang kepada kerugian amal dan kerapuhan titian menuju redha-Nya.
• Taqwa khawasul khawas - nafsu mutmainnah iaitu jiwa yang tenang daripada maksiat zahir dan batin
Setiap tahap ini meletakkan batu perbezaan pada satu sempadan iaitu nafsu, semakin tinggi dan kukuh sempadan nafsu semakin rendah kedudukan taqwanya kerana sempadan nafsu telah menutupi penglihatan iman untuk melihat simpang taqwa dan membiarkan ilmu tergadai di 'kedai kejahilan' sekaligus menurunkan 'had kelajuan' amal soleh untuk ke simpang itu.
Sememangnya sukar untuk membawa diri ke simpang itu namun sedarilah bahawa kesusahan itu hanya sebentar iaitu tatkala nyawa dikandung badan, tapi apabila nyawa meninggalkan jasad segala kesusahan itu juga yang menjadi kebahagiaan yang abadi.
Jika kita takut atau terlalu memanjakan perasaan dan jiwa duniawi pada usia yang berbaki ini, cepatlah ingatkan semula atau muhasabah kembali bahawa tiada hidup kedua atau nyawa kedua setelah ia berakhir.
Awalnya mungkin terasa berat namun apabila ia dihidayahkan Allah s.w.t akan kemanisan iman, saat itu senyuman taqwa dan tawa iman akan terus menemani hari- harimu.
Sesungguhnya janji Allah s.w.t telah berfirman yang bermaksud ;
"Kalau kamu beroleh kebaikan (kemakmuran dan kemenangan, maka yang demikian) menyakitkan hati mereka dan jika kamu ditimpa bencana, mereka bergembira dengannya. Dan kalau kamu sabar dan bertakwa, (maka) tipu daya mereka tidak akan membahayakan kamu sedikitpun. Sesungguhnya Allah meliputi pengetahuanNya akan apa yang mereka lakukan. " (Surah ali-Imran ayat 120)
Allah pelindung,
Allah jua pemelihara,
Biar susah tidak terbendung,
kerana cinta-Nya ku gagahi jua.
Tuntutlah ilmu walau ke Negeri China,
Teruskan ia hingga ke hujung,
SIMPANG TAQWA simpang redha-Nya,
Iman, ilmu dan amal menjadi penghubung.
"Pernah kamu susuri jalan yang penuh duri?" balas Ubai dengan suatu pertanyaan yang menduga.
"Pernah saja," jawab Umar.
"Apa yang kamu lakukan?" pintas Ubai.
"Aku angkat sedikit pakaianku, dan melangkah dengan hati-hati," jawab Umar lagi.
"Itulah taqwa!" simpul Ubai bin Ka'ab terhadap soalan Umar al-Khattab tentang taqwa.
Halus perbincangan taqwa ianya seolah-olah satu jisim yang menyerupai bakteria ikhlas. Diibaratkan sebagai seekor semut hitam di lorong yang gelap, tiada siapa yang menyedari kehadirannya melainkan Allah s.w.t, kerana itu ikhlas dijadikan rahsia simpanan kepada asas pertimbangan neraca mizan kelak.
Ikhlas bukan sahaja boleh rosak atau batal di awal perbuatan iaitu pada niatnya namun kata- kata, tindak-balas pada reaksi atau komen orang lain juga sedikit sebanyak menggugat ikhlas kepada amalan tersebut.
Ikhlas bererti suci dan murni tanpa noda melainkan disandarkan hanya pada Yang Esa. Namun, perkongsian kali ini bukanlah berkisar mengenai ikhlas sebaliknya pemahaman tentang konsep taqwa dalam iman.
Seorang muslim itu beriman jika dia bertaqwa dan bukan hanya kerana memegang pangkat yang tinggi atau memiliki bakat yang hebat atau kerana keturunannya yang disanjung.
Sebaliknya Allahs.w.t telah firman ;
"Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih takwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu)" (Surah Al-Hujurat ayat 13)
Definisi taqwa bermula dari kalimah waqa- yaqi- wiqoyah yang membawa maksud memelihara, melindungi, takut dan berjaga- jaga. Sesuai dengan pemahaman mendalam terhadap definisi tersebut bahawa taqwa berperanan sebagai penjaga diri dan pelindung tetapi bukan penakut kepada diri seorang muslim.
Sebaliknya di dorong rasa 'takut' kepada Allah s.w.t dengan sentiasa berusaha untuk mentaati segala suruhan dan menjauhi larangan-Nya malah yang paling utama berkorban untuk menjunjung syariat yang diturunkan dan bukan bersifat mempersendakannya atau mengabaikannya atau meringankan sesuatu hukum biarpun sudah mengetahui mengenainya secara teliti dan jelas.
Di situlah taqwa berfungsi iaitu dalam merasakan kemanisan iman dan tidak berasa susah untuk menurutinya walaupun jika menurut pandangan akal manusia ia adalah perbuatan yang sukar seperti bertudung, solat dan puasa serta lainnya.
Seruan taqwa setiap minggu dilaungkan oleh Khatib dalam Khutbah Jumaat malah ia adalah rukun khutbah. Saya yakin setiap muslim menyedari kedudukan 'rukun' dalam pelaksanaan ibadah. Oleh yang demikian, secara tidak langsung membuktikan bahawa peringatan taqwa adalah amat penting untuk sekalian muslim supaya diterapkan dalam kehidupan dan bukan hanya disimpan dalam telinga setiap minggu namun kefahaman mengenainya terus dipekakkan.
Allah telah berfirman dalam surah ali-Imran ayat 102 yang bermaksud ;
" Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam. "
Bagaimana?
Jawapan mudah yang boleh diringkaskan iaitu berilmu, beramal soleh dan beriman. Renung- renungkan perkara ini di mana tahapnya pada diri kita. Melalui perkara ini seorang muslim mungkin dapat melihat penilaian koreksi taqwanya samada pada tahap ;
• Taqwa awwam - masih terpengaruh dgn nafsu amarah walaupun mujahadah masih ada.
• Taqwa khawas - terdedah kepada nafsu lawwamah, menerima virus maksiat batin dan menyemai mazmumah walaupun ia mengetahui ketuanan sifat- sifat tersebut menyumbang kepada kerugian amal dan kerapuhan titian menuju redha-Nya.
• Taqwa khawasul khawas - nafsu mutmainnah iaitu jiwa yang tenang daripada maksiat zahir dan batin
Setiap tahap ini meletakkan batu perbezaan pada satu sempadan iaitu nafsu, semakin tinggi dan kukuh sempadan nafsu semakin rendah kedudukan taqwanya kerana sempadan nafsu telah menutupi penglihatan iman untuk melihat simpang taqwa dan membiarkan ilmu tergadai di 'kedai kejahilan' sekaligus menurunkan 'had kelajuan' amal soleh untuk ke simpang itu.
Sememangnya sukar untuk membawa diri ke simpang itu namun sedarilah bahawa kesusahan itu hanya sebentar iaitu tatkala nyawa dikandung badan, tapi apabila nyawa meninggalkan jasad segala kesusahan itu juga yang menjadi kebahagiaan yang abadi.
Jika kita takut atau terlalu memanjakan perasaan dan jiwa duniawi pada usia yang berbaki ini, cepatlah ingatkan semula atau muhasabah kembali bahawa tiada hidup kedua atau nyawa kedua setelah ia berakhir.
Awalnya mungkin terasa berat namun apabila ia dihidayahkan Allah s.w.t akan kemanisan iman, saat itu senyuman taqwa dan tawa iman akan terus menemani hari- harimu.
Sesungguhnya janji Allah s.w.t telah berfirman yang bermaksud ;
"Kalau kamu beroleh kebaikan (kemakmuran dan kemenangan, maka yang demikian) menyakitkan hati mereka dan jika kamu ditimpa bencana, mereka bergembira dengannya. Dan kalau kamu sabar dan bertakwa, (maka) tipu daya mereka tidak akan membahayakan kamu sedikitpun. Sesungguhnya Allah meliputi pengetahuanNya akan apa yang mereka lakukan. " (Surah ali-Imran ayat 120)
Allah pelindung,
Allah jua pemelihara,
Biar susah tidak terbendung,
kerana cinta-Nya ku gagahi jua.
Tuntutlah ilmu walau ke Negeri China,
Teruskan ia hingga ke hujung,
SIMPANG TAQWA simpang redha-Nya,
Iman, ilmu dan amal menjadi penghubung.
Ahad, Mac 04, 2012
Akidah terpesong jika percayakan al-Quran sekadar penghalau hantu
MASYARAKAT kini dimomokkan ayat al-Quran untuk ‘menghalau hantu’, sedangkan Islam mahu umatnya mengetahui keseluruhan al-Quran. Paling malang,
anak kecil jadi takut ke bilik air selepas menonton cerita seram
HAMPIR setiap hari kita dihidangkan cerita seram sama ada drama di kaca televisyen, atau filem di layar perak hingga menjadi fenomena baru dalam industri filem tanah air. Penerbit berlumba-lumba menerbitkan drama dan filem seram kerana percaya bakal mendapat sambutan dan mempunyai khalayak yang sentiasa ternanti-nantikan cerita seumpamanya. Filem seram walaupun mendapat sambutan hebat, mewujudkan kebimbangan ia boleh memesongkan akidah kerana terlalu percaya bahawa kuasa ghaib ini boleh 'membantu' manusia mencapai hajat mereka
Sebahagian besar masyarakat kita juga seolah-olah ketagih untuk menonton filem seram kerana rasa takut menyeronokkan dan terhibur sekali gus melupakan seketika masalah dihadapi.
Menonton filem seram umpama makan cili api atau makan sambal belacan, walaupun pedas sehingga mengalir air mata, namun terus dijamah, kata pendakwah bebas, Datuk Zawawi Yusof.
Menurutnya, filem seram memberikan keuntungan besar kepada penerbit dan pada masa sama menjadi satu gejala kerana menimbulkan ketakutan melampau kepada orang ramai terutama kanak-kanak.
Beliau yang juga pakar motivasi, berkata kesan emosi kepada penonton begitu kuat seperti takut di tempat sunyi dan gelap, jika ada kedengaran bunyi atau berlaku sesuatu mereka terus beranggapan wujud makhluk halus.
“Jin atau hantu yang dipaparkan dalam filem dilihat mempunyai kuasa hebat sehingga boleh menguasai apa saja dan membuat anak takut pada kehidupan harian kerana percaya di sekeliling mereka ada kuasa jahat.
“Filem seram juga membuka ruang kepada golongan tertentu untuk mencari bomoh termasuk yang mengamalkan ilmu hitam kononnya dapat menghalang kuasa jahat lain juga di kalangan jin dan iblis, sepatutnya kita takut kepada kuasa Allah SWT,” katanya.
Lebih malang, masyarakat melihat ayat al-Quran hanya digunakan untuk menghalau hantu, sedangkan al-Quran diturunkan sebagai panduan hidup manusia sejagat.
Beliau berkata, disebabkan penggunaan ayat al-Quran dipaparkan sebegitu, sesetengah umat Islam hanya mempelajari ayat yang dapat menghalau hantu seperti ayat Kursi sehingga kurang minat mempelajari ayat suci lain.
Katanya, minda masyarakat kini dikongkong hasil menonton filem seram dan penerbit filem terus mengambil kesempatan menghasilkan filem seumpamanya. Beliau berharap penerbit filem juga menghasilkan filem yang membina pemikiran masyarakat terutama mengandungi unsur positif.
“Penerbit filem seram juga wajar mendapat pandangan mufti dan alim ulama bagi memastikan ia tidak bercanggah dengan akidah Islam dan dapat memberi pengajaran kepada penonton,” katanya.
Pengarah Institut Sosial Malaysia, Prof Madya Dr Mohd Fadzil Che Din, berkata filem seram menyebabkan ketakutan bebas atau open fear di kalangan masyarakat sehingga memberi kesan psikologi terutama kanak-kanak.
Beliau berkata, ketakutan bebas membantutkan sikap positif. Sebagai contoh jika kanak-kanak rajin seperti membantu keluarga ke kedai, tetapi kini mereka tidak mahu melakukannya kerana bimbang dalam perjalanan di tempat gelap diganggu hantu. Kesan menonton filem seram akan melekat dalam pemikiran mereka seperti wajah hodoh hantu dan ia tertanam dalam kotak rujukan dalaman seseorang.
Dr Mohd Fadzil berkata, ketika era 60-an, 70-an dan 80-an, kita dihidangkan dengan filem seram yang hanya menunjukkan gambar rupa hantu menakutkan dan dirasuk, tetapi era kini ia menjadi lebih sadis dan tragis dengan berlaku pembunuhan.
Malah, katanya, keadaan sama wujud dalam filem seram yang dihasilkan di negara jiran dan filem Barat dengan wujud elemen tahyul seperti pari-pari, bidadari, haiwan boleh bercakap yang jelas boleh menimbulkan kecelaruan dalam dunia nyata.
“Saya melihat dalam filem seram tempatan akan juga berlaku perkara yang sama kerana ia sudah pasti satu fenomena kurang baik kepada masyarakat dan jika orang ramai mempercayainya ia akan menjadi khurafat,” katanya.
Jika diamati ada benarnya pendapat dua pakar ini kerana apabila dirujuk kembali beberapa filem seram kebelakangan ini, sudah ada elemen yang mencurigakan dan boleh dipertikaikan, malah lebih teruk, mungkin juga boleh memesongkan akidah. Apa tidaknya, sering dipaparkan kemampuan hantu membunuh manusia.
Persoalannya, benarkah hantu boleh membunuh dan mengambil nyawa manusia? Bukankah hantu adalah syaitan dan berdasarkan kisah iblis, ia hanya berjanji untuk menyesatkan anak Adam, bukan membunuh anak Adam dan bukankah urusan membabitkan nyawa adalah milik Allah.
Itulah yang mungkin perlu diberi perhatian. Mereka yang gemar menonton filem seram mungkin kuat tertanam dalam minda mengenai kehebatan dan kekuatan kuasa. Benar, semua kesudahan filem seram menunjukkan kebaikan mengatasi kejahatan tetapi ceritanya pula menunjukkan sebaliknya apabila ramai nyawa terkorban kerana kehebatannya.
Senario ini perlu diberi perhatian. Mungkin benar, filem seram adalah fenomena dunia dan ia genre popular tetapi tidak salah jika penerbit dan pengarah filem menggarapnya sebaik mungkin supaya tidak tersasar daripada akidah sebenar.
anak kecil jadi takut ke bilik air selepas menonton cerita seram
HAMPIR setiap hari kita dihidangkan cerita seram sama ada drama di kaca televisyen, atau filem di layar perak hingga menjadi fenomena baru dalam industri filem tanah air. Penerbit berlumba-lumba menerbitkan drama dan filem seram kerana percaya bakal mendapat sambutan dan mempunyai khalayak yang sentiasa ternanti-nantikan cerita seumpamanya. Filem seram walaupun mendapat sambutan hebat, mewujudkan kebimbangan ia boleh memesongkan akidah kerana terlalu percaya bahawa kuasa ghaib ini boleh 'membantu' manusia mencapai hajat mereka
Sebahagian besar masyarakat kita juga seolah-olah ketagih untuk menonton filem seram kerana rasa takut menyeronokkan dan terhibur sekali gus melupakan seketika masalah dihadapi.
Menonton filem seram umpama makan cili api atau makan sambal belacan, walaupun pedas sehingga mengalir air mata, namun terus dijamah, kata pendakwah bebas, Datuk Zawawi Yusof.
Menurutnya, filem seram memberikan keuntungan besar kepada penerbit dan pada masa sama menjadi satu gejala kerana menimbulkan ketakutan melampau kepada orang ramai terutama kanak-kanak.
Beliau yang juga pakar motivasi, berkata kesan emosi kepada penonton begitu kuat seperti takut di tempat sunyi dan gelap, jika ada kedengaran bunyi atau berlaku sesuatu mereka terus beranggapan wujud makhluk halus.
“Jin atau hantu yang dipaparkan dalam filem dilihat mempunyai kuasa hebat sehingga boleh menguasai apa saja dan membuat anak takut pada kehidupan harian kerana percaya di sekeliling mereka ada kuasa jahat.
“Filem seram juga membuka ruang kepada golongan tertentu untuk mencari bomoh termasuk yang mengamalkan ilmu hitam kononnya dapat menghalang kuasa jahat lain juga di kalangan jin dan iblis, sepatutnya kita takut kepada kuasa Allah SWT,” katanya.
Lebih malang, masyarakat melihat ayat al-Quran hanya digunakan untuk menghalau hantu, sedangkan al-Quran diturunkan sebagai panduan hidup manusia sejagat.
Beliau berkata, disebabkan penggunaan ayat al-Quran dipaparkan sebegitu, sesetengah umat Islam hanya mempelajari ayat yang dapat menghalau hantu seperti ayat Kursi sehingga kurang minat mempelajari ayat suci lain.
Katanya, minda masyarakat kini dikongkong hasil menonton filem seram dan penerbit filem terus mengambil kesempatan menghasilkan filem seumpamanya. Beliau berharap penerbit filem juga menghasilkan filem yang membina pemikiran masyarakat terutama mengandungi unsur positif.
“Penerbit filem seram juga wajar mendapat pandangan mufti dan alim ulama bagi memastikan ia tidak bercanggah dengan akidah Islam dan dapat memberi pengajaran kepada penonton,” katanya.
Pengarah Institut Sosial Malaysia, Prof Madya Dr Mohd Fadzil Che Din, berkata filem seram menyebabkan ketakutan bebas atau open fear di kalangan masyarakat sehingga memberi kesan psikologi terutama kanak-kanak.
Beliau berkata, ketakutan bebas membantutkan sikap positif. Sebagai contoh jika kanak-kanak rajin seperti membantu keluarga ke kedai, tetapi kini mereka tidak mahu melakukannya kerana bimbang dalam perjalanan di tempat gelap diganggu hantu. Kesan menonton filem seram akan melekat dalam pemikiran mereka seperti wajah hodoh hantu dan ia tertanam dalam kotak rujukan dalaman seseorang.
Dr Mohd Fadzil berkata, ketika era 60-an, 70-an dan 80-an, kita dihidangkan dengan filem seram yang hanya menunjukkan gambar rupa hantu menakutkan dan dirasuk, tetapi era kini ia menjadi lebih sadis dan tragis dengan berlaku pembunuhan.
Malah, katanya, keadaan sama wujud dalam filem seram yang dihasilkan di negara jiran dan filem Barat dengan wujud elemen tahyul seperti pari-pari, bidadari, haiwan boleh bercakap yang jelas boleh menimbulkan kecelaruan dalam dunia nyata.
“Saya melihat dalam filem seram tempatan akan juga berlaku perkara yang sama kerana ia sudah pasti satu fenomena kurang baik kepada masyarakat dan jika orang ramai mempercayainya ia akan menjadi khurafat,” katanya.
Jika diamati ada benarnya pendapat dua pakar ini kerana apabila dirujuk kembali beberapa filem seram kebelakangan ini, sudah ada elemen yang mencurigakan dan boleh dipertikaikan, malah lebih teruk, mungkin juga boleh memesongkan akidah. Apa tidaknya, sering dipaparkan kemampuan hantu membunuh manusia.
Persoalannya, benarkah hantu boleh membunuh dan mengambil nyawa manusia? Bukankah hantu adalah syaitan dan berdasarkan kisah iblis, ia hanya berjanji untuk menyesatkan anak Adam, bukan membunuh anak Adam dan bukankah urusan membabitkan nyawa adalah milik Allah.
Itulah yang mungkin perlu diberi perhatian. Mereka yang gemar menonton filem seram mungkin kuat tertanam dalam minda mengenai kehebatan dan kekuatan kuasa. Benar, semua kesudahan filem seram menunjukkan kebaikan mengatasi kejahatan tetapi ceritanya pula menunjukkan sebaliknya apabila ramai nyawa terkorban kerana kehebatannya.
Senario ini perlu diberi perhatian. Mungkin benar, filem seram adalah fenomena dunia dan ia genre popular tetapi tidak salah jika penerbit dan pengarah filem menggarapnya sebaik mungkin supaya tidak tersasar daripada akidah sebenar.